Selasa, Juni 30, 2009

So Little Time So Much To Ask


Beberapa hari yang lalu saya ditanya oleh boss dari boss saya. Kata beliau, ”Bagaimana dengan presentasi yang sudah kamu simak kemarin, bro?”, beliau menanyakan pendapat saya tentang kuliah umum finance beberapa minggu yang lalu. ” Lumayan Pak (kata aman biar dibilang pinter but actually gak mudeng-mudeng amat), rupanya budaya bertanya di sini masih lumayan kurang”, jawab saya. Beliau hanya diam. Padahal saya tahu benar bahwa sebetulnya tujuan pak boss berulang-ulang menawarkan apakah ada pertanyaan dari kami adalah untuk membuka kebuntuan itu. Tetapi kami masih tetap malu-malu(in). Hanya terlahir sedikit pertanyaan pada waktu itu.

Di rumah, saya sedang kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari keponakan saya yang baru akan berumur dua tahun. Bukan karena saya bosan, tetapi hanya ingin memberikan jawaban yang terbaik. Berbohong, meskipun itu kepada anak kecil, adalah perbuatan yang kurang terhormat menurut saya. Apa saja dia tanyakan. ” Oom, apa ini?”, ”Oom, apa itu?”, berulang-ulang untuk satu deretan buku di rak buku saya, yang notabene semuanya adalah buku buku juga, tetapi bagi anak kecil itu adalah lebih dari satu jenis benda. Andai saja kita bisa menanyakan apa saja seperti dia. Tanpa malu dianggap bodoh. What a Life !!

Terkadang, kebuntuan yang ada di dalam kehidupan kita sehari-hari bisa saja dipecahkan hanya dengan menanyakannya. Just ask your questions. Tanyakan saja lah. Tetapi, rupanya budaya malu dan malas bertanya itu sudah mengakar kuat di otak kita sehingga sebagian besar dari kita mending memilih diam, daripada mengajukan pertanyaan hanya karena takut dibilang bodoh. Padahal kata pepatah, orang yang bertanya akan terlihat bodoh untuk jangka waktu lima menit saja, tetapi orang yang tidak pernah bertanya akan terlihat bodoh seumur hidupnya.

Memang, tidak sembarang pertanyaan akan selalu bisa kita ajukan ke setiap orang di segala suasana. Pertanyaan yang bermutu tentunya akan lebih menyenangkan untuk dijawab. Contoh sederhana: pertanyaan yang ”mentah” justru akan memperlihatkan kelemahan si penanya di hadapan khalayak ramai, pertanyaan dalam acara penting seperti debat calon presiden, atau pertanyaan dalam rapat dengar pendapat antara pemerintah dengan DPR , atau pertanyaan dalam wawancara dengan tokoh internasional misalnya. Pertanyaan yang diajukan memang harus benar-benar ”dipikirkan”. Tetapi selebihnya, kita bisa menanyakan apa saja. Misalkan dalam rangka mencairkan suasana tegang dan kaku, kita bisa menanyakan cuaca, makanan, hobi, berita, dan mungkin gosip kepada orang asing yang duduk di sebelah kita dalam perjalanan pulang dari kantor misalnya.

Banyak pertanyaan yang ternyata menjadi tonggak peubahan peradaban yang lebih maju. Dahulu, mungkin pertanyaan-pertanyaan ini selalu ditanyakan atau malah menjadi dongeng pengantar tidur nenek moyang kita: apakah manusia bisa terbang? ada apa di ujung horison sana? kenapa ada siang dan malam? apakah malam hari bisa terang seperti siang? apakah suatu penyakit bisa disembuhkan, dll. Yang ternyata, pertanyaan tersebut telah menuntun manusia ke arah penemuan beribu-ribu objek yang sangat bermanfaat di kemudian hari.

Tetapi, entah bagaimana tiba-tiba ”curious mind” yang kita miliki pada waktu kita masih kecil-seperti keponakan saya sekarang-bisa hilang begitu saja ketika kita sudah dewasa. Sepertinya ada yang salah dengan sistem pendidikan kita, dimana mungkin guru akan menjawab pertanyaan sekena-nya kepada siswa sehingga siswa jadi malas bertanya, atau siswa yang gemar bertanya akan dicap bodoh, atau kita memang hanya berorientasi pada hasil bukan proses? (seperti tujuan diadakannya standar UAN?). Who knows.....

Yang jelas, jangan pernah merasa segan untuk bertanya tentang berbagai hal yang Anda ingin tahu jawabannya. Biarlah orang bilang kita bodoh, tetapi jiwa terpuaskan dengan mengetahui jawabannya dan kita menjadi orang yang setingkat lebih tahu daripada orang yang tidak pernah bertanya. Tak ada ruginya toh?

Tanyakan apa saja. Tanyakan kenapa sekolah mahal? Tanyakan kenapa sembako murah susah didapatkan? Tanyakan kenapa negara kita banyak hutang? Tanyakan kenapa tidak ada negarawan yang layak menjadi panutan? Tanyakan kenapa angka kejahatan meningkat? Tanyakan kenapa Rupiah tidak bisa menguat? Tanyakan kenapa Jakarta tambah macet, sering banjir dan tambah polusi? Tanyakan kenapa pekerjaan susah diperoleh di desa-desa? Tanyakan kenapa mahasiswa masih suka tawuran? Tanyakan kenapa TKW sering disiksa majikan di negeri seberang?

Dan tanyakan perasaan orang lain terhadap Anda apabila memang ingin mengetahuinya. Perkara jawabannya nanti tidak seperti yang diharapkan, itu adalah resiko bawaan, yang tidak bisa dipisahkan dari aksi pengajuan pertanyaan. Just take the pills. Salut buat seorang teman yang sudah menanyakan hal ini ke saya. Altough i gave you a No, but it doesn’t mean that i hate you. Its just a matter of time. Someday, somehow, and somewhere else. Who knows? Siapa siy Mas yang dimaksud….? ada deeh..mau tauuu aja, heee :D

Senin, Juni 15, 2009

Selera Tidak (Bisa) Dipaksakan?


Salah satu tema obrolan antar teman minggu-minggu ini yang cukup seru adalah masalah film. Sampai-sampai kita saling beradu argumen bahwa salah satu film tertentu itu bagus atau tidak bagus. Sebagai seorang yang fair dan untuk menghindari pertumpahan darah, maka pada saat itu saya hanya bisa mengatakan bahwa selera itu tidak bisa dipaksakan.

Film, musik, jenis makanan, minuman, baju, potongan rambut, aksesori, kendaraan, lawan jenis, bahkan political view, setiap orang memiliki seleranya masing-masing. Apa yang kita anggap bagus, belum tentu orang lain akan memiliki anggapan yang sama.

Sebagai contoh, beberapa teman saya, terutama perempuan bilang bahwa film Ps. I Love You itu bagus banget, tetapi menurut saya, biasa saja. Kenapa? Karena kesan yang saya tangkap dari film itu adalah bahwa kesedihan seseorang itu paling lama akan berlangsung selama satu tahun. Itu saja. Entah saya yang salah tangkap atau memang benar, tetapi tema seperti itu tidak cukup bermanfaat. Yang saya lihat bagus malahan dari sisi sinematografinya yg cukup colorfull.

Sutradara-sutradara terbaik peraih Oscar semacam Woody Alen, Clint Eastwood, Peter Jackson, Ang Lee, Oliver Stone, Martin Scorsese, sampai dengan Steven Spielberg pun belum tentu bisa menghasilkan film yang dianggap bagus oleh semua orang. Entah mereka yang kurang hebat atau orang-orang yang salah menilai, tetapi setiap orang bebas memiliki sudut pandangnya masing-masing. Its not a crime. Karena selera adalah personal right pikir saya.

Tetapi apakah benar bahwa selera memiliki ultimate freedom untuk menilai sesuatu? Saya pikir standar tetap ada untuk hal ini. Jadi kalau Anda memiliki selera yang berada di bawah standar, mungkin sudah saatnya Anda atau saya mereview sudut pandang kita masing-masing. Meskipun akhirnya kita tetap tidak bisa memaksakan selera pribadi kepada orang lain. Adalah sebuah kemerdekaan hakiki bagi orang-orang untuk tetap memilih kesukaannya masing-masing.

Di sisi lain, dari mana standar muncul? Untuk hal-hal semacam itu (yang menjadi ikon bisnis modern life), standar bisa muncul dari rating. Untuk film misalnya dari lembaga perating tertentu, musik pun ada, aktor, penyanyi dsb ada yang meratingnya berdasarkan perhitungan tertentu.

Apa yang diukur dan kredibilitas lembaga perating itu lah yang penting untuk kita pertanyakan. Apabila media masa yang meratingnya, saya bisa mengatakan mereka cukup kredibel dan independen, tetapi kalau untuk lembaga-lembaga perating khusus akan bisa tersenggol oleh kepentingan bisnis pihak-pihak tertentu demi kenaikan rating. Sinetron misalkan. Mana ada sintron masa kini yang bagus? Tetapi tetap dirating bagus, dibandingkan acara-acara televisi yang lain. Sungguh suatu pembodohan publik yang keterlaluan.

Apa yang saya khawatirkan adalah bahwa nanti bisa saja terjadi peubahan persuasi di mata publik bahwa suatu produk yang sebetulnya tidak bagus sama sekali menjadi ”benar-benar bagus” karena penggelontoran informasi searah yang bertubi-tubi dari media massa yang tanpa ampun telah meracuni pikiran setiap orang. Seperti sinetron-sinetron itu, atau musik-musik lokal masa kini mungkin.

Dikhawatirkan, kualitas produk-produk tertentu akan menurun (bukannya membaik), tetapi kita masih menganggapnya layak pakai. Suatu ironi yang harus kita telan mentah-mentah nantinya.

Oleh karena itu, sudah sejak beberapa tahun ini saya mencoba untuk melebarkan sudut pandang sendiri, sehingga harapan saya, meski pun selera saya pas-pas an tetapi paling tidak jangan sampai dibodohi oleh kapitalis modern yang sudah merajai seluruh kanal informasi yang ada.

Misalnya: empat tahun yang lalu mungkin saya benar-banar anti boyband, lagu-lagu pop dan jenis musik sejenis lainnya, pokoknya hanya mendengarkan musik rock saja. Tetapi perlahan-lahan saya paksakan untuk mendengarkan perbedaan di telinga saya dan hasilnya positif. Saya jadi tahu bahwa Justin Timberlake, Boys2Men, Alicia Keys, Gnarl Barkley, Eminem dan Rhoma Irama memiliki lagu-lagu yang bagus. Yang bisa menjadi alternatif baru dalam mencari inspirasi. Tidak hanya bertemakan perlawanan saja.

Jadi intinya, meskipun selera memang sama sekali hak asasi setiap orang, dan tidak bisa dipaksakan juga, tetapi kita masih bisa mencoba untuk lebih terbuka terhadap hal-hal baru sehingga tidak hanya itu itu melulu dan menjadi bosan sendiri. Tetap tidak ada salahnya mencoba membaca koran baru, buku-buku bacaan baru, makan di restoran baru, mendengarkan musik baru, mencoba olahraga jenis baru, menjalin pertemanan baru, menonton film genre yang berbeda dan sebagainya.

Sebenaranya yang saya pikirkan hanya satu, kalau suatu ketika Anda berada pada posisi harus menyamakan selera dengan orang yang Anda hormati, penting bagi Anda, atau dicintai Anda, maka Anda tidak perlu berpura-pura. Karena in fact, Anda memang memiliki beberapa selera yang berbeda. Ngga ada salahnya :’) Terimakasih.




Sabtu, Juni 13, 2009

Maklumat no.5

Salam blogger!
Maap untuk sementara postingan prei dulu. Bukanny mentok,tp bnyk bgt yg mau saya tulis. Jd bingung sendiri,hee...besok InsyaAlloh dah update.

Thanks all,atas perhatiannya.
I realy realy appreciate it. Thank you.

regards,
Oom kudalumping