Senin, Juni 15, 2009

Selera Tidak (Bisa) Dipaksakan?


Salah satu tema obrolan antar teman minggu-minggu ini yang cukup seru adalah masalah film. Sampai-sampai kita saling beradu argumen bahwa salah satu film tertentu itu bagus atau tidak bagus. Sebagai seorang yang fair dan untuk menghindari pertumpahan darah, maka pada saat itu saya hanya bisa mengatakan bahwa selera itu tidak bisa dipaksakan.

Film, musik, jenis makanan, minuman, baju, potongan rambut, aksesori, kendaraan, lawan jenis, bahkan political view, setiap orang memiliki seleranya masing-masing. Apa yang kita anggap bagus, belum tentu orang lain akan memiliki anggapan yang sama.

Sebagai contoh, beberapa teman saya, terutama perempuan bilang bahwa film Ps. I Love You itu bagus banget, tetapi menurut saya, biasa saja. Kenapa? Karena kesan yang saya tangkap dari film itu adalah bahwa kesedihan seseorang itu paling lama akan berlangsung selama satu tahun. Itu saja. Entah saya yang salah tangkap atau memang benar, tetapi tema seperti itu tidak cukup bermanfaat. Yang saya lihat bagus malahan dari sisi sinematografinya yg cukup colorfull.

Sutradara-sutradara terbaik peraih Oscar semacam Woody Alen, Clint Eastwood, Peter Jackson, Ang Lee, Oliver Stone, Martin Scorsese, sampai dengan Steven Spielberg pun belum tentu bisa menghasilkan film yang dianggap bagus oleh semua orang. Entah mereka yang kurang hebat atau orang-orang yang salah menilai, tetapi setiap orang bebas memiliki sudut pandangnya masing-masing. Its not a crime. Karena selera adalah personal right pikir saya.

Tetapi apakah benar bahwa selera memiliki ultimate freedom untuk menilai sesuatu? Saya pikir standar tetap ada untuk hal ini. Jadi kalau Anda memiliki selera yang berada di bawah standar, mungkin sudah saatnya Anda atau saya mereview sudut pandang kita masing-masing. Meskipun akhirnya kita tetap tidak bisa memaksakan selera pribadi kepada orang lain. Adalah sebuah kemerdekaan hakiki bagi orang-orang untuk tetap memilih kesukaannya masing-masing.

Di sisi lain, dari mana standar muncul? Untuk hal-hal semacam itu (yang menjadi ikon bisnis modern life), standar bisa muncul dari rating. Untuk film misalnya dari lembaga perating tertentu, musik pun ada, aktor, penyanyi dsb ada yang meratingnya berdasarkan perhitungan tertentu.

Apa yang diukur dan kredibilitas lembaga perating itu lah yang penting untuk kita pertanyakan. Apabila media masa yang meratingnya, saya bisa mengatakan mereka cukup kredibel dan independen, tetapi kalau untuk lembaga-lembaga perating khusus akan bisa tersenggol oleh kepentingan bisnis pihak-pihak tertentu demi kenaikan rating. Sinetron misalkan. Mana ada sintron masa kini yang bagus? Tetapi tetap dirating bagus, dibandingkan acara-acara televisi yang lain. Sungguh suatu pembodohan publik yang keterlaluan.

Apa yang saya khawatirkan adalah bahwa nanti bisa saja terjadi peubahan persuasi di mata publik bahwa suatu produk yang sebetulnya tidak bagus sama sekali menjadi ”benar-benar bagus” karena penggelontoran informasi searah yang bertubi-tubi dari media massa yang tanpa ampun telah meracuni pikiran setiap orang. Seperti sinetron-sinetron itu, atau musik-musik lokal masa kini mungkin.

Dikhawatirkan, kualitas produk-produk tertentu akan menurun (bukannya membaik), tetapi kita masih menganggapnya layak pakai. Suatu ironi yang harus kita telan mentah-mentah nantinya.

Oleh karena itu, sudah sejak beberapa tahun ini saya mencoba untuk melebarkan sudut pandang sendiri, sehingga harapan saya, meski pun selera saya pas-pas an tetapi paling tidak jangan sampai dibodohi oleh kapitalis modern yang sudah merajai seluruh kanal informasi yang ada.

Misalnya: empat tahun yang lalu mungkin saya benar-banar anti boyband, lagu-lagu pop dan jenis musik sejenis lainnya, pokoknya hanya mendengarkan musik rock saja. Tetapi perlahan-lahan saya paksakan untuk mendengarkan perbedaan di telinga saya dan hasilnya positif. Saya jadi tahu bahwa Justin Timberlake, Boys2Men, Alicia Keys, Gnarl Barkley, Eminem dan Rhoma Irama memiliki lagu-lagu yang bagus. Yang bisa menjadi alternatif baru dalam mencari inspirasi. Tidak hanya bertemakan perlawanan saja.

Jadi intinya, meskipun selera memang sama sekali hak asasi setiap orang, dan tidak bisa dipaksakan juga, tetapi kita masih bisa mencoba untuk lebih terbuka terhadap hal-hal baru sehingga tidak hanya itu itu melulu dan menjadi bosan sendiri. Tetap tidak ada salahnya mencoba membaca koran baru, buku-buku bacaan baru, makan di restoran baru, mendengarkan musik baru, mencoba olahraga jenis baru, menjalin pertemanan baru, menonton film genre yang berbeda dan sebagainya.

Sebenaranya yang saya pikirkan hanya satu, kalau suatu ketika Anda berada pada posisi harus menyamakan selera dengan orang yang Anda hormati, penting bagi Anda, atau dicintai Anda, maka Anda tidak perlu berpura-pura. Karena in fact, Anda memang memiliki beberapa selera yang berbeda. Ngga ada salahnya :’) Terimakasih.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar